Rabu, 30 Juni 2010

Pengalaman Artikel Koran Pertama

Pengalaman pertama nulis artikel di koran Pikiran Rakyat hmmm susah juga. Susahnya, gw biasa nulis jurnal atau artikel ilmiah, nah pas buat tulisan yang harus dimengerti banyak orang, ternyata puyeng hee..revisi berulang kali untuk bisa menginformasikan ide kita. Nah ini hasilnya, baca ye...jelek2 gini, artikel TMB menghasilkan prestasi tauu, terpilih oleh Dikti untuk riset DIVA, ngalahin doktor-doktor dan profesor, termasuk ngalahin pembimbing sendiri (sombong yah gw teh),,,jitak sendiri ah..

Mau Dibawa ke Mana TMB Ini?

BERBICARA transportasi massal di Kota Bandung termasuk kota-kota besar Indonesia lainnya, maka yang ada di benak kita adalah kemacetan, angkot yang begitu padat, DAMRI yang tak kalah banyak, hingga keberadaan Trans Metro Bandung (TMB), khususnya di Kota Bandung yang notabene baru 10 unit. Akan tetapi, keberadaannya itu masih menyimpan problem lama, yakni kemacetan.

Keberadaan TMB sejak awal digadang-gadang untuk mengubah total sistem dan manajemen angkutan umum yang selama ini berbasis "setoran" menjadi sistem berbasis pembelian pelayanan oleh pemerintah kepada operator, atau buy the service. Artinya, pemerintah daerah akan membeli pelayanan dalam bentuk rupiah per kilometer layanan yang dihitung berdasarkan nilai biaya pokok angkutan. Namun, sampai saat ini, hal itu belum dikelola dengan baik. Sekarang TMB sudah beroperasi dengan teratur, hampir tak terjadi lagi unjuk rasa supir mogok narik angkot apalagi bertindak anarkistis merusak bus seperti dulu.

"Coopetition"

Mengadopsi istilah coopetition yang dipopulerkan oleh Nalebuff dan Bra-denburger (1997) dalam bukunya Coopetition. Coopetition tidak lebih dari seperangkat strategi bersaing mengga-bungkan kompetisi dan kolaborasi dalam satu waktu. Motivasi melakukan coopetition yang dimaksud penulis dalam kasus TMB lebih didasarkan oleh keinginan untuk meraih keuntungan atau memaksimalisasi laba dan memenangkan keunggulan kompetitif pihak lain, agar kinerja perusahaan bertumbuh secara kolektif, interaktif, dan berkesinambungan.

Jika digambarkan dalam sebuah jaring nilai konflik TMB, inti dari jaring nilai yang penulis maksud adalah Dishub Kota Bandung, karena Dishub merupakan pengelola TMB. DAMRI yang memenangi tender pengoperasian dan perawatan TMB merupakan komple-mentor, artinya DAMRI melakukan coopetition dengan Dishub sebagai komplementornya. .

Lalu di manakah Organda dan para supir angkot? Mereka dipetakan sebagai kompetitor karena angkot dan TMB berkompetisi dalam pasar transportasi di Jalan Soekarno-Hatta Bandung. Masyarakat pengguna angkutan umum sendiri adalah pihak yang melakukan coopetition dengan Dishub sebagai pelanggan. Dan terakhir, pihak penting dalam jaring nilai adalah pemasok, yakni Departemen Perhubungan (Dephub).

Dalam persoalan TMB bahwa setiap konflik tidak harus diakhiri dengan me-nangnya pihak yang satu atas kekalahan pihak lainnya. Setiap konflik bisamemiliki nilai coopetition dari pihak-pihak yang bersangkutan. Seperti contoh-contoh tadi, setiap pihak yang terlibat dengan program TMB, memiliki coopetition sendiri. Artinya konflik yang terjadi bisa dibina dengan baik, yaitu bagaimana rasa kompetisi yang ada bisa dipupuk dengan kompetisi sehat, bukan hanya kemenangan dirinya atau kekalahan pihak lain yang dituju, tetapi bagaimana semua pihak bisa memenangi konflik tidak ada yang dirugikan dan terciptalah suatu kolaborasi.

Dari sudut pandang penulis, kondisi terkendali saat ini harus selalu disertai sikap waspada. Hasil temuan penulis, dari banyaknya kesepakatan yang pernah disepakati Dishub dan Organda, hanya satu yang dirasakan telah dipenuhi oleh Dishub yaitu penarikan sepuluh bus DAMRI, sedangkan yang lainnya belum. Dishub bisa berlega hati dulu, karena sejauh ini tidak ada unjuk rasa lagi.

Penting bagi pengelola TMB untuk menyediakan skenario-skenario yang layak {feasible) yaitu kondisi stabil seperti saat ini bisa terjadi di setiap kondisi apabila TMB ingin menjadi apa yang diharapkan semua pihak, menjadi moda transportasi massal yang memuaskan bagi masyarakat, menjadi program transportasi yang berhasil menekan polusi dan kemacetan bagi Dishub Bandung, menjadi rekanan angkot dalam memudahkan mobilitas masyarakat.

Ada beberapa skenario yang ingin penulis angkat. Pertama, penulis setujudengan saran pakar transportasi ITB, Ofyarz. Tamin, bahwa reroute (pengubahan rute) adalah solusi yang feasible, misalnya rute panjang seperti Soe-karno-Hatta-Dago, tetapi solusi ini perlu pengkajian ketat, karena bisa jadi memicu konflik baru dengan angkot-angkot yang rutenya sama. Pemerintah perlu mencegah adanya pihak yang bisa memprovokasi pemilik dan supir angkot daerah mana pun di Kota Bandung.

Kedua, TMB dialihfungsikan menjadi bus wisata Bandung. Kota Bandung terutama dengan berdatangannya kendaraan dari luar kota menjelang akhir pekan membuat kemacetan luar biasa. Dengan difungsikannya TMB sebagai bus wisata, mobil-mobil luar kota misal dari Jakarta tidak perlu masuk ke Kota Bandung cukup di parkir di suatu tempat dan penumpangnya pindah ke TMB untuk berwisata keliling Bandung. Ide yang menarik, tetapi implementasinya butuh biaya besar adalah pengaturan tempat parkir yang harus terencana dengan baik.

Ketiga, mempertahankan nama TMB agar Dishub Kota Bandung tidak merasa malu, tetapi semua pengelolaan TMB diserahkan kepada DAMRI. DAMRI harus bisa meyakinkan Dephub bahwa mereka sanggup menjadi moda transportasi massal yang memuaskan masyarakat.***

Penulis, mahasiswi program Master of Science in Management, School of Business and Management ITB.

2 komentar:

  1. Kalo beloh tau email untuk mengirimnya apa, berapa honornya, kalo dimuat dikonfirmasi ke email kita gak kayak kompas?

    BalasHapus
  2. susah kalo via email mas, mending cari dulu email wartawan koran yang ingin kita masuki, caranya cuma gugling, nah baru hubungi mereka..dan biasanya mereka 9wartawan) sudah ngerti link tersendiri mengenai di koran apa artikel kita harus dimuat...Tempo paling susah di tata bahasa

    BalasHapus